Metafora Baju Lebaran


Sudah terlalu lumrah dalam realita kehidupan kita selama ini bahwa setiap kali lebaran, anak-anak kita mengharapkan baju yang lebih baru; baju yang lebih baik. Para pengusaha konveksi dan seluruh distributornya, atau katakanlah pelaku-pelaku bisnis yang terkait dengan komoditas ini, faham betul dengan psikologi pasar di momen-momen tahunan seperti itu. Dan harus kita akui, meski kita sangat sedih, 10 hari terakhir Ramadhan yang idealnya jamaah semakin memadati masjid, justru berbondong-bondong meninggalkan rumah Allah itu dan bergeser memadati pusat-pusat perbelanjaan.

Apa sesungguhnya yang kita cari? Pakaian yang lebih barukah? Pakaian yang lebih baikkah? Jika saja kita tidak terjebak dalam fisikalisasi kapitalisme konsumtif, maka pasti yang kita akan kejar adalah keterangan yang satu ini: Sebaik-baik pakaian adalah Takwa. Wa Libaasu at-Taqwa Zaalika khair. (QS. Al-A’raf: 26)

Belanja baju baru tidak dilarang. Membeli baju lebaran sah-sah saja. Masalanya adalah, mengapa momen pembelian itu kemudian lebih banyak merampas waktu-waktu istimewa kita, terutama (meski tidak terbatas pada) 10 hari terakhir Ramadhan? Di sini, sangat kuat dugaan saya ada unsur “ghazwul fikri” (semacam pendistorsian pemikiran) yang sedang bekerja sistematis dalam momen-momen istimewa seperti ini, sehingga tidak sedikit dari ummat Islam yang terperangkap di dalamnya, dan pada akhirnya menganggap penting sesuatu yang sesungguhnya remeh temeh, dan sebaliknya menganggap enteng sesuatu yang sejatinya sangat krusial makna dan konsekuensinya dalam kehidupan.

Belanja baju baru dan lain sebagainya toh bisa dilakukan di luar Ramadhan. Sementara Ramadhan, biarlah difungsikan sebagaimana mestinya sebagai periode riyadhah (training center) khusus untuk meraih keutamaan-keutamaan di dalamnya serta menggapai kemenangan hakiki, sehingga usai ramadhan bisa memiliki “pakaian” yang lebih baru dan lebih baik lagi bernama takwa, sebagaimana disebut di atas. Wa libaasu at-taqwa zaalika khair (sebaik-baik pakaian adalah takwa).

Perhatikan, pada kalimat pertama dalam artikel ini saya katakan bahwa yang lebih sering mengharapkan baju lebaran adalah anak-anak. Artinya, jika ada orang desawa yang masih memiliki selera yang sama dalam soal baju lebaran dengan anak-anak, maka sesungguhnya dia belum keluar dari masa kanak-kanak. Saya jadi teringat dengan kata-kata dari Cesare Pavese yang saya kutip dalam salah satu postingan saya berjudul Salah Satu Tanda Kematangan Kepribadian.

Mohon izin, kalau boleh saya modif kata-kata Cesare Pavese itu, maka hasil modifikasi saya akan menjadi seperti ini: " Seseorang berhenti menjadi anak-anak saat dia sadar bahwa meninggalkan keutamaan Ramadhan tidak akan membuatnya lebih baik, meskipun dia membeli dan memakai baju baru yang berharga sangat mahal". Wallahua’lam. (Yuk, kembali ke pendahuluan tulisan ini di artikel: Alumni Madrasah Ramadhan dan Metafora Baju Lebaran).

0 Response to "Metafora Baju Lebaran"

Post a Comment